03 September 2007

SUNAN KALIJAGA DI ERA DIGITAL

Pernahkah anda melihat seorang ibu berteriak histeris gara-gara melihat penyanyi idolanya masuk final dalam suatu kontes dangdut. Atau para penonton yang hanyut terbawa cerita sinetron yang ditontontonnya. Juga saksikan betapa antusiasnya para remaja melihat film Harry Potter, Spiderman dll. Bukan hanya sebatas melihat, malah mengikuti apa yang mereka tonton. Tidak salah pula kalau ada yang berpendapat bahwa sisi-sisi kehidupan kehidupan kita sekarang terutama kehidupan remaja, banyak dipengaruhi oleh tontonan baik layar kaca maupun layar lebar. Gaya hidup para selebritis mulai dari gaya rambut, pakaian sampai gaya bicara seolah menjadi hal yang wajib diikuti. Itulah hebatnya media visual.
Apakah pengaruh tontonan terhadap gaya hidup manusia merupakan gejala baru di era digital ini atau memang sudah menjadi fitrah manusia sejak dahulu. Menurut saya kegemaran manusia menonton dan pengaruh tontonan terhadap pola pikir dan tingkah laku sudah terjadi sejak dahulu. Manusia cenderung suka kepada hiburan. Kesenian Ludruk, Ketoprak, Wayang , longser dll adalah contoh entertain di masa lalu bisa membuktikan hal tersebut.
Menengok beberapa ratus tahun kebelakang sebelum ditemukannya peralatan canggih. Pagelaran wayang pernah menjadi media hiburan paling canggih saat itu. Kita menilainya sebagai media usang karena menilainya pada saat sekarang. Zaman dahulu orang rela berduyun-duyun menyebrang sungai atau melintasi hutan sekedar melihat pertunjukan. Jangankan beratus tahun, beberapa puluh tahun yang lalu pertunjukan wayang masih menjadi favorit sebagian masyarakat di pedesaan. Kita masih bisa menyaksikan Bapak-bapak bergadang semalam untuk mendengar siaran langsung pagelaran wayang kulit atau golek dari radio. Atau rame-rame nonton wayang di TV hitam putih sampai shubuh. Pesta pernikahan , khitanan, hiburan 17 Agustusan dll masih menjadikan pertunjukan wayang sebagi hiburan favorit. Bukan hanya orang tua , para remaja saat itu masih suka menonton wayang dan hapal nama tokoh-tokohnya.
Media hiburan apapun jenisnya ternyata sangat ampuh sebagai media penyebaran informasi bahkan ideologi. Pantas sekali jika Raden Said alias Sunan Kalijaga menjadikan wayang sebagai media dawah. Hiburan yang paling digemari , khususnya oleh masyarakat Jawa dari ABG hingga orang tua. Mungkin sama keadaannya seperti zaman kita sekarang yang gemar film-film Hollywood, Sinetron atau Musik.
Raden Said melihat kecenderungan masyarakat pada saat itu sebagai kesempatan emas untuk memasukan nilai-nilai Islam pada masyarakat. Masyarakat pasti akan lebih menerima jika disampaikan lewat media dan tokoh yang mereka senangi. Wayang yang merupakan peninggalan kebudayaan Hindu dipermak menjadi lebih Islami mulai dari bentuk wayang dan alur ceritnya. Simbol-simbol Islam dimasukan ke dalamnya. Hasilnya ? berbondong-bondong orang masuk Islam gara-gara ingin mempunyai Jamus Layang Kalimusada. Kalimat yang bisa membawa manusia kepada keselamatan dunia dan akhirat yang tiada lain dan tiada bukan adalah dua kalimat Syahadat. Bukan hanya wayang, Sunan Kalijaga juga masuk ke dalam jalur Musik. Tentunya Musik yang sesuai zamannya pada saat itu. Gamelan merupakan alat musik tercangih dan digemari saat itu seperti Group Band zaman kita sekarang. Raden Said alias Sunan kalijaga bukan hanya seorang dai tetapi ia seorang actor (seniman) ,entertainer, Even organizer dan sutradara sejati.
Menjadikan pertunjukan wayang sebagai media hiburan sekaligus dawah mungkin sudah tidak efektif lagi ditengah membludaknya media-media elektronik sekarang ini. Dampak kemajuan teknologi menggeser salah satu bentuk entertain ini. Kegemaran masyarakat pada hiburan berubah cepat. Sepakbola liga Eropa, Sinetron lokal, Film-film Hollywood tidak hanya disukai anak muda tetapi disukai semua kalangan. Pertunjukan wayang masih harus dan mungkin akan tetap ada, cuma untuk menjadikannya sebagai media dawah yang menghibur , berpengaruh terhadap pola pikir masyarakat, populer, digandrungi setiap lapisan masyarakat seperti zaman dahulu jelas sangat sulit. Ia paling-paling hanya akan menjadi simbol budaya peninggalan nenek moyang, digunakan untuk acara-acara tertentu seperti ruwatan, acara-acara pagelaran budaya pada festival budaya.
Bagaimanapun juga wayang sebagai warisan budaya Islam harus tetap dilestarikan baik ada penggemar maupun tidak ( Tapi bukan untuk ruwatan lho.....). Wayang tetap ada untuk memberi gambaran bagi generasi muda bahwa perjuangan muslim dalam memperjuangkan tegaknya Islam bisa dilakukan lewat berbagai jalur. Dawah perlu kreativitasyang memadai.

Mengikuti Langkah Sunan Kalijaga
Mengikuti langkah Sunan Kalijaga di zaman modern ini masih sangat relevan, tentu tidak harus menjadi dalang seperti beliau. Bukankah beliau menjadi dalang karena melihat wayang sebagai media hiburan tercanggih saat itu dan karena animo masyarakat lebih besar pada jenis hiburan ini. Jika sinetron atau film layar lebar sudah ditemukan pada saat itu dan keduanya menjadi media hiburan paling populer di masyarakat Jawa. Beliau pasti akan memilih menjadi sutradara sinetron atau film demi tujuan dawahnya. Dengan demikian , mengikuti langkah beliau dalam berdawah adalah dengan cara menjadikan media hiburan yang ada sekarang lebih Islami dan berorientasi dawah. Ini lebih efektif ketimbang dawah lewat pagelaran wayang yang segmennya makin sempit. Sebagai contoh, kita bisa melihat banyak kaum wanita dari remaja hingga ibu-ibu tiba-tiba memakai jilbab karena melihat salahsatu bintang film panas bertobat memakai jilbab. Dan itu bukan terjadi karena habis nonton wayang. Walaupun terus terang, dengan Jilbab yang pas-pasan dan agak dipaksakan untuk mengikuti mode. Tapi lumayanlah. Inilah kelebihan dan kekurangan dawah lewat jalur seni. Secara kuantitas bagus tetapi secara kualitas... saya juga tidak tahu....he..he..

Tentang Film Islami
Cap film sebagai benda penuh maksiat mungkin masih menempel pada pikiran kita karena yang kita saksikan tentang sebuah film adalah cabul, kekerasan , kelakuan-kelakuan tidak senonoh yang sama sekali bertolak belakang dengan pendidikan. Mana ada orang yang mau nonton film disebut sebagai orang yang mau ibadah. Ketika orang mau nonton film ke bioskop yang terbayang di benak kita adalah : pacaran, hura hura dengan teman-teman dll yang jelek – jelek. Penilaian atau cap seperti ini tidak ada salahnya karena realitas memang demikian. Yang ditawarkan dari sebuah film kebanyakan seperti itu adanya. Wayangpun sebelum dipermak oleh Sunan Kalijaga persis sama seperti itu. Ia merupakan simbol-simbol berhala Jahiliyah, tahayul. Hanya karena kepiawaian Sunan Kalijagalah persepsi masyarakat tentang wayang dan nonton wayang berubah. Orang yang nonton bisa dianggap ibadah karena tujuannya thalabil Ilmi mencari kalimat syahadat.
Sedangkan yang kita bayangkan sebagai Film Islami biasanya Film atau sinetron yang bercerita tentang kehidupan di sebuah pesantren, Film yang jagoannya ustad melawan Jin ,genderewo atau santet, film tentang kematian seorang pendosa yang tragis. Bayangan seperti ini sah-sah saja tapi belum mewakili keseluruhan. Menurut saya , sepanjang film tersebut tidak mengandung unsur maksiat, bisa disebut film Islami. Film tentang kehidupan hewan, film tentang perjuangan hidup manusia , film dokumentar , Film kepahlawanan dll. Jika masih malu menonjolkan Islam dalam film secara gamblang. Bisa juga kita membuat film Islami yang nilai Islamnya tersirat dan mengajak orang mengambil hikmah.
Sangat disayangkan, meski sutradara – sutradara di Indonesia muslim. Film-film yang diproduksi belum banyak yang visinya Islam bahkan sangat bertentangan dengan nilai-nilai Islam. Sampai saat ini kita masih menunggu sosok Sunan Kalijaga muncul kembali di Indonesia. Entah kebetulan atau bagaimana, Dedy Mizwar yang pernah memerankan tokoh sunan kalijaga (tahun 80 an) akhir-akhir ini sibuk membuat film-film bernuansa Islam. Malah ada beberapa sinetron yang melejit dan mendapat respon bagus dari masyarakat Apakah dia akan menjadi sunan kalijaga di era digital sekarang atau hampir mau jadi. Yang jelas siapapun berpeluang besar menjadi sosok Sunan Kalijaga di era digital ini.


.

No comments: