Jika teman karib kita atau tetangga berbeda agama merayakan hari besar agamanya bagaimana sikap kita ? Pertanyaan ini persis seperti soal pada pelajaran PMP/PPKN BAB Ketuhanan Yang Maha Esa tingkat sekolah Dasar. Anak SD paling bodoh pun tidak terlalu sukar menjawabnya . Saya pun pernah menghadapi soal tersebut. Jawabannya gampang, apalagi pilihan ganda. Karena belum paham masalah aqidah, saya waktu itu pilih jawaban : Mengucapkan selamat pada teman kita. (tapi saya lupa a, b,c, atau d). Jawaban seperti itulah yang diharapkan soal. Kenyataan di lapangan tidak semudah menjawab soal. Saya sebagai seorang muslim pernah merasakan sendiri. Hati ragu antara dua pilihan : Mengucapkan selamat atau bahkan memenuhi undangan mereka, hadir dalam pesta atau Chuek bebek ,tidak memberi ucapan selamat karena alasan Aqidah. Bagi umat agama selain Islam atau bagi muslim yang tidak peduli aqidah , dianggap wajar jika melakukan hal pertama tadi. Dengan alasan etika pergaulan (spt yang diajarkan pada pelajaran PMP/PPKN), tetapi bagi yang sudah mengetahui bahwa hal tersebut tidak boleh, akan terjadi guncangan yang hebat kecuali bagi orang yang teguh.
Sebagai muslim, kita mungkin merasa tidak enak hati disebut intoleran oleh penganut agama lain. Saking tidak ingin disebut tidak toleran dan dengan dalil persatuan, banyak muslim menganggap hal di atas wajar dan rela kehilangan keteguhan memegang aqidah. Kalau hal-hal seperti ini diangap remeh, lambat- laun keyakinan terhadap agama sendiri(Islam) pun kian luntur. Berganti dengan ajaran Pluralisme, yakni menyamakan agama lain sama dengan Islam. Ini lebih parah lagi.
Keanekaragaman adalah fenomena yang tidak bisa dihindari dari zaman dahulu sampai kiamat. Islam datang bukan untuk menghilangkan keanekaragaman dan menciptakan sesuatu yang serba sama. Islam memberikan tuntunan bagaimana bersikap terhadapnya. Toleransi terhadap keanekaragaman merupakan salahsatu ajaran dalam Islam.. Sayang, sikap toleran seringkali kebablasan keluar dari tuntunan. Ajaran Islam dengan tegas mengatakan umat lain selain Islam adalah Kafir. Menurut saya, itu harga mati karena memang ada landasannya seperti yang dijelaskan dalam Al Quran Seorang Muslim tidak boleh bersama-sama mengikuti perayaan hari besar mereka, bahkan sekedar memberi ucapan selamat. Bukan berarti kita tidak toleran, justru hal inilah yang akan memelihara keragaman. sebaliknya ketika ajaran kita bercampur aduk dan serba boleh maka keragaman tidak akan terjadi. Sikap seperti ini sebenarnya yang anti perbedaan.
Sebagai Muslim kita harus menjadi orang paling toleran, tidak memaksakan agama dan keyakinan kepada orang lain. Namun bukan berarti kita ragu terhadap kekafiran orang diluar Islam. Ini adalah masalah keteguhan hati dan tidak identik dengan anti etika terhadap orang beragama lain. Konsep tolong menolong sesama manusia bisa diterapkan tidak harus dengan mengeluarkan paham baru : persamaan antar agama.
Dalam Alquran dikatakan : “ Orang Yahudi dan Nasrani tidak akan senang kepadamu sebelum kamu mengikuti ajaran mereka…” (2: 120) Ayat tersebut benar dan tidak usah diotak-atik lagi. Dan bukan ayat-ayat yang mengundang rasa permusuhan, seperti yang dikatakan oleh tokoh-tokoh pluralis. Kasusnya sama saja dengan kita, Umat Islampun merasa lebih senang jika ada orang Yahudi dan Nasrani masuk Islam. Merekapun demikian, akan senang jika kita masuk agama mereka ,sebaliknya mereka tidak senang sebelum kita mengikuti mereka. Kita lebih senang jika mereka masuk Islam dan jadi saudara seiman tetapi Islam mengajarkan untuk tetap enjoy.Tidak membuat kita benci mereka jika mereka menolak dawah kita. Disini akan dinilai, siapa yang lebih toleran, bijak dan berjiwa lebih besar. Kita yakin , mereka tidak senang pada kita atas dasar informasi dalam Alquran. Cuma kita tidak boleh membalas ketidaksenangan mereka dengan kejelekan. Kalau kita tidak senang kepada mereka karena mereka tidak mengikuti keyakinan kita. Ya, apa bedanya dengan sikap mereka. Ini adalah wanti-wanti dari Allah agar kita terus menjaga aqidah kita, keluarga kita dan masyarakat kita dari terjerumus ke dalam ajaran mereka. Jadi bukan ayatnya yang mesti di selewengkan dan mengaggap Islam mengundang permusuhan. Hati kita sebagai muslim yang harus diluruskan sehingga bersikap sebagaimana yang dicontohkan Nabi SAW.
Dalam Alquran dikatakan : “ Orang Yahudi dan Nasrani tidak akan senang kepadamu sebelum kamu mengikuti ajaran mereka…” (2: 120) Ayat tersebut benar dan tidak usah diotak-atik lagi. Dan bukan ayat-ayat yang mengundang rasa permusuhan, seperti yang dikatakan oleh tokoh-tokoh pluralis. Kasusnya sama saja dengan kita, Umat Islampun merasa lebih senang jika ada orang Yahudi dan Nasrani masuk Islam. Merekapun demikian, akan senang jika kita masuk agama mereka ,sebaliknya mereka tidak senang sebelum kita mengikuti mereka. Kita lebih senang jika mereka masuk Islam dan jadi saudara seiman tetapi Islam mengajarkan untuk tetap enjoy.Tidak membuat kita benci mereka jika mereka menolak dawah kita. Disini akan dinilai, siapa yang lebih toleran, bijak dan berjiwa lebih besar. Kita yakin , mereka tidak senang pada kita atas dasar informasi dalam Alquran. Cuma kita tidak boleh membalas ketidaksenangan mereka dengan kejelekan. Kalau kita tidak senang kepada mereka karena mereka tidak mengikuti keyakinan kita. Ya, apa bedanya dengan sikap mereka. Ini adalah wanti-wanti dari Allah agar kita terus menjaga aqidah kita, keluarga kita dan masyarakat kita dari terjerumus ke dalam ajaran mereka. Jadi bukan ayatnya yang mesti di selewengkan dan mengaggap Islam mengundang permusuhan. Hati kita sebagai muslim yang harus diluruskan sehingga bersikap sebagaimana yang dicontohkan Nabi SAW.
Dalam Alquran dikatakan, muslim harus bersikap keras kepada orang-orang kafir. Ini juga bukan berarti orang-orang kafir kita perlakukan semena-mena dan diperlakukan keras secara fisik. Keras di sini adalah keras bantahan kita terhadap argumen-argumen mereka. Bersikap tegas dan tidak boleh pletat pletot dalam bersikap. Sejarah ketegasan Nabi salah satunya bisa kita simak dalam surat Al Kafiruun.
Bisa jadi, sebagian besar umat Islam termasuk kaum intelektual yang mengusung ide pluralisme gagal dalam mencontoh Nabi SAW . Saya akui betapa susahnya bersikap manis kepada orang-orang kafir (yang tidak memerangi kita) dengan tetap memegang teguh keyakinan. Untuk bisa bersikap manis, seolah-olah kita harus merombak Aqidah kita dulu. Itulah masalahnya. Mengapa kita tidak teguhkan dalam hati bahwa : “ Kami Muslim, ajaran agama kami tidak memperkenankan hal tersebut, tapi kami tetap bisa bekerjasama dengan kalian dan saling menolong” atau lebih jantan lagi mencoba memberikan alasan yang ilmiah dan bijak terhadap masalah-masalah di atas. Bisa jadi mereka akan kagum terhadap keteguhan Iman kita. Tidak menutup kemungkinan mereka tertarik kepada Islam. Bukankah hal ini yang diharapkan oleh kita ? Membawa manusia kepada cahaya. Jadi sekali lagi, bersikap manis dan baiklah terhadap orang-orang yang dalam Alquran di sebut Kafir selama tidak memerangi kita. Tapi tetap pegang teguh keyakinan. Jika mereka bersikap jelek atas keteguhan kita. Ya itulah resiko dawah.
1 comment:
Saya lebih memilih bersikap keras terhadap orang-orang yang suka menyebut orang lain sebagai kafir.
Selama saya kuliah di Surabaya, setiap tahunnya selalu menyempatkan diri untuk mengucapkan selamat hari raya, bersilaturahmi dan bermaaf-maafan ketika Idul Fitri tiba.
Dan hal ini sebenarnya bukan saya yang memulainya terlebih dahulu. Saya besar di Bali, dengan Hindu sebagai agama mayoritas dimasyarakat. Saya tidak terbiasa dengan kebiasaan seperti itu. Tahun pertama saya di Surabaya, banyak teman saya yang muslim mengucapkan Minal Aidin Walfa Idzin pada saya ketika setelah hari raya Idul Fitri. Dan kenangan akan hal ini tidak bisa saya lupakan. Ini hal pertama yang mengubah persepsi saya tentang Islam
Post a Comment